Friday, August 15, 2014

Desa Lingga, "Wisata Budaya di Kabupaten Karo"


Lingga adalah salah satu desa yang menjadi daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo Sumatera Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km dari Brastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe ibu kabupaten Karo. Lingga merupakan perkampungan Karo yang unik, memiliki rumah-rumah adat yang diperkirakan berumur 250 tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Rumah tersebut dihuni oleh 6-8 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini tidak memiliki ruangan yang dipisahkan oleh pembatas berupa dinding kayu atau lainnya.

Pada zaman dahulu desa Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain, kesain merupakan pembagian wilayah desa yang namanya disesuaikan dengan marga yang menempati wilayah tersebut. Nama-nama kesain di desa Lingga adalah : Kesain Rumah Jahe, Kesain Rumah Bangun, Kesain Rumah Berteng, Kesain Rumah Julu, Kesain Rumah Mbelin, Kesain Rumah Buah, Kesain Rumah Gara, Kesain Rumah Kencanen, Kesain Rumah Tualah, kesemuanya merupakan kesain milik marga/ klan Sinulingga. Sedangkan untuk non Sinulingga hanya terdiri dari tiga bagian yaitu: Kesain Rumah Manik, Kesain Rumah Tarigan, Kesain Rumah Munte.

Pemakaian nama-nama kesain masih dipakai hingga saat ini oleh sebagian penduduk. Saat ini seiring dengan pertumbuhan penduduk Desa Lingga telah terbagi dua ditinjau dari segi wilayah dan juga penyebutan oleh penduduk setempat dan penduduk desa sekitar yaitu Lingga Lama dan Lingga Baru, Lingga Lama atau sering juga disebut Desa Budaya Lingga adalah wilayah desa yang awal, sedangkan Lingga Baru merupakan desa bentukan pemerintah untuk merelokasi penduduk dan membentuk suatu bentuk perkampungan yang lebih tertata, awalnya wilayah ini dibuat untuk merelokasi perumahan penduduk yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian dan ketradisionilan Lingga Lama sebagai sebuah Desa Budaya.

Untuk mencapai lokasi ini, hanya memerlukan waktu sekitar 2,5 Jam (jika kondisi jalan normal) dari Kota Medan untuk sampai ke Desa Lingga ini menggunakan Sepeda Motor. Jika memulai perjalanan dari Kota Medan, langsung saja mengarah ke Kota Berastagi dan melewati Pajak. Sesampainya di persimpangan empat yang terdapat sebuah Tugu Kol, langsung saja berbelok ke Kanan. Nanti akan terlihat sebuah Papan arah yang menunjukkan ke Desa Budaya Lingga berjarak sekitar 12 KM lagi.
Terus saja mengikuti jalur utama. Selama perjalanan, dapat dilihat Gunung Sinabung yang begitu Indah dan Kokoh, meskipun saat itu terlihat gersang pasca letusan beberapa bulan lalu. Sekitar 15 menit berlalu, maka sampailah disebuah persimpangan empat dekat kantor Camat simpang Empat. Pada persimpangan ini, lanjutkan perjalanan dengan berbelok kekiri.
Terus saja jalan sampai menemukan simpang tiga yang dipinggir jalannya terdapat sebuah Tugu Sibayak Lingga.  Pada simpang tersebut langsung saja berbelok Kekanan. Lanjutkan perjalanan hingga anda sampai di Gapura atau gerbang bertuliskan Mejuah-Juah dan background dibelakangnya ada lah Gunung Sinabung. Keren kan
Langsung Saja deh masuk kedalamnya dan ikuti jalan yang ada, setelah melewati gerbang tadi, jalan yang ada tidaklah mulus lagi, hanya berjarak kurang lebih 100 meter, kini sampailah di depan Rumah Adat Karo Desa Lingga. Terlihat ada dua Rumah Adat Karo yang masih berdiri kokoh dan masih ditempati. Padahal dulunya ada beberapa lagi Rumah Adat Karo di Desa Lingga ini, namun karena kurang perhatian dari pemerintah daerah tersebut, akhirnya rumah-rumah tersebut hancur dengan sendirinya karena warga tidak sanggup memperbaiki rumah tersebut tanpa adanya bantuan dana dari pemerintah daerah. Dua Rumah yang tersisa yaitu Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo serta satu lagi yang bernama Sapo Ganjang, ini merupakan tempat musyawarah
Rumah Adat Gerga didirikan sekitar tahun 1860an dihuni oleh 12 keluarga/Jabu dalam satu rumah tersebut. Rumah adat Belang Ayo didirikan sekitar tahun 1862 dan dihuni oleh 8 Jabu/keluarga. Rumah adat yang masih bagus dan dapat ditempati tersebut sebelumnya telah di perbaiki oleh kerjasama World Monuments Fund (WMF), Universitas Katholik Santo Thomas Medan, dan Badan Warisan Sumatera pada tahun 2012. Rumah Adat Karo memang unik, karena bangunannya tida menggunakan paku, melainkan hanya diikat-ikat dengan pasak dan Tali. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujungnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga disebut ayo-ayo.

Pada puncak ayo-ayo terpasang kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah. Hal itu dipercaya dapat menolak bala. Tinggi rumah sekitar 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya berjumlah 16 buah dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Selain dua Rumah adat tersebut ada satu lagi yaitu Sapo Ganjang didirikan pada tahun 1870, tempat ini berfungsi sebagai tempat bermusyawarah/Runggu, dan juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
Setelah melihat Rumah Adat Karo, tidak ada salahnya untuk mampir ke Museum Lingga. Museum ini telah didirikan oleh Pangkowilham Kodam II Bukit Barisan, G.H Mantik pada tahun 1977. Museum ini dibuka secara resmi untuk umum pada tanggal 6 Juni 1989. Museum ini menyimpan 206 koleksi seperti peralatan dapur, topeng, kain, alat musik, alat berburu, alat pertanian, mata uang, dan berbagai benda bersejarah lainnya.
 Semoga saja Rumah Adat Karo di Desa Lingga akan selalu ada, dan berharap pemerintah daerah mau memberi perhatian lebih terhadap Rumah Adat Karo ini, karena ini merupakan bagian dari Budaya dan Sejarah di Indonesia. Sehingga kelak, anak dan Cucu kita bisa mengenal budaya dan sejarah serta dapat melihat langsung keunikan Rumah adat Karo ini, yang dibangun tanpa Paku.


Credit to : http://www.medanwisata.com



Tuesday, August 5, 2014

Letjen. Jamin Ginting, Jenderal dari Tanah Karo

Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara.
Setelah Kutacane dibombardir dua pesawat pemburu Belanda, esok paginya saya ikut kakek mengungsi ke sebuah desa sekitar 12 km dari kota. Setiap pagi saya dan kakek ke kota dari desa pengungsian itu untuk berjualan di pasar. Kami melewati Macan Kumbang, sebuah perkebunan karet yang dibangun semasa Jepang. Ternyata beberapa minggu sebelum penyerangan pesawat Belanda itu, Macan Kumbang, telah menjadi markas pertahanan Let.Kol. Djamin Gintings, Komandan Resimen IV TNI pindahan dari tanah Karo.
jamin-ginting
Di kota orang bercerita bahwa markas pertahanan RI itu hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, sesuai kesepakatan Renville. Tanah Karo dianggap sudah menjadi wilayah Belanda dan Negera Sumatra Timur (NST). Karena itu kedudukan Kutacane menjadi penting. Kini Tanah Alas menjadi garis pertahanan RI terdepan menghadapi Belanda. Kota kecil itu bertambah ramai, banyak tentera dan pengungsi dari Tanah Karo dan Dairi. Mereka sibuk mendirikan rumah-rumah darurat dan barak-barak pengungsi. Di pinggir sungai (Lawe) Alas dan Lawe Bulan yang mengapit Kutacane, penuh berjejer Barak pengungsi. Sampai-sampai di halaman rumah Raja Alas (Polonas), didirikan rumah-rumah bambu yang beratap rumbia.
 jamin ginting
Malam hari, jalan satu-satunya yang membelah kota hingar bingar, motor truk tentera hilir mudik, ada yang membawa pengungsi, pasukan tentera dan korban yang luka tembak, sebahagian besar dari pertempuran di sekitar Mardinding (Desa Perbatasan antara Tanah Karo dan Tanah Alas yang menjadi markas pertahanan Belanda).
Kami melihat Djamin Gintings hanya dari kejauhan, waktu apel bendera pagi di markas Macan Kumbang, ketika kami melintasi markas itu. Atau waktu menghadiri perayaan nasional dan rapat umum di Lapangan Bola Kutacane. Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara, sedang Kol. Muhammad Din (staf Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo dari Kutaraja). Beliau selalu berpakaian tentera Jepang lengkap dengan samurainya. Kami sangat mengagumi mereka dan selalu bergaya seperti komandan-komandan TNI waktu itu.
Demikianlah rona kehidupan Kutacane, kota kecil di front perbatasan pertahanan RI dan Belanda (1947), sibuk dengan hilir mudik tentera dan pengungsi. Kami siap-siap melompat ke lobang pertahanan yang disiapkan dibelakang sekolah, ketika serine dan pesawat pemburu Belanda datang memuntahkan peluru. Keadaan kota kecil yang sesak itu mulai berobah ketika penyerahan kedaulatan (1950).
Seminar Brastagi
Waktu surat permohonan anak tertua Djamin Gintings, Riemenda Jamin Gintings SH,MH (lahir di Kutacane) dan adiknya Dra Riahna Jamin Gintings, M.Sc datang–agar saya memberi makalah dalam seminar Djamin Gintings di Berastagi–untuk mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, saya sambut dengan baik. Di benak saya terbuhul sesuatu yang terus menggema dari pengalaman semasa remaja di Kutacane dan keberhasilan Djamin Gintings memepertahankan garis batas pertahanan Indonesia-Belanda di Tanah Alas dengan melakukan perang gerilya di Tanah Karo.
Sesuatu yang kemudian makin jelas di benak saya, sesudah saya melakukan studi dari berbagai buku dan catatan historis auto biografi kedua bukunya: ”Titi Bambu” dan ”Bukit Kadir,” serta dua buku standar lainnya seperti ”Kadet Brastagi” (1981) dan ”Jendral Soedirman” (Pribadi, 2009), saya mulai berpikir bahwa Djamin Gintings bukan sembarang hero atau pahlawan perang kemerdekaan. Tetapi beliau telah menyelamatkan daerah modal republik, satu-satunya di luar pulau Jawa.
Perintah Mundur
Atas perintah Kol. Hidayat Komandan Divisi X, yang berkedudukan di Kutaradja, Djamin Gintings diperintahkan mundur ke Tanah Alas Kutacane. Perintah ini merupakan kesepakatan RI dan Belanda yang dituangkan dalam perjanjian Renville (1947). Dalam perjanjian itu semua wilayah Tanah Karo dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua pasukan TNI harus disingkirkan dari daerah itu. Djamin Gintings harus mengosongkan seluruh wilayah Tanah Karo, walaupun sebagian besar wilayah itu, secara de facto masih berada dalam kekuasaan republik, yaitu daerah antara Lisang dan Lau Pakam.
Dengan perasaan perih dan pilu Djamin Gintings dan pasukannya melaksanakan keputusn itu. Semua pasukan Resimen IV mundur ke Tanah Alas dan pasukan Belanda dengan leluasa memasuki daerah-daerah yang dikosongkan itu.
Jendral Soedirman selaku Panglima Besar TNI, waktu itu turut merasakan betapa keputusan Renville itu melukai hati para prajuritnya. Sebab itu melalui radio, beliau menyampaikan amanatnya, ”Anak-anakku anggota Angkatan Perang, tiap-tiap perjuangan mempunyai pasang surutnya, tetapi dengan iman kita tetap teguh dan jiwa yang tetap besar, kita masih tetap sanggup untuk mengatasi percobaan ini dan percobaan-percobaan lainnya yang mungkin akan menyusul lagi.”
Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman yang ditutup dengan perintah agar TNI tetap bertanggungjawab terhadap jiwa dan harta rakyat–ternyata mampu menghibur kekecewaan para prajurit TNI–termasuk Djamin Gintings dan pasukannya. Dengan penuh semangat keprajuritan pasukan Resimen IV meninggalkan kantong-kantong gerilya dan markas pertahanannya untuk berhijrah ke Kutacane (Tanah Alas).
Dalam sejarah perang kemerdekaan, hijrah pasukan-pasukan TNI tidak hanya di Tanah Karo tetapi juga di Jawa Barat. Pasukan Siliwangi umpamanya harus hijrah meninggalkan Jawa Barat ke Jawa Timur (yang dikenal dengan istilah the long march dalam film Darah dan Doa, 1952). Luas wilayah republik sesudah perjanjian Renville yang dianggap sebagai ”daerah modal” semakin mengecil dan secara ekonomi dan politis semakin terpojok (Hardiyono 2000).
Di Jawa hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian Keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal, dan bahagian Selatan Banyumas (Pribadi 2009). Sedang di luar Pulau Jawa hanya tinggal Provinsi Aceh. Mungkin waktu itu tidak semua perajurit TNI yang yang hijrah ke Kutacane, menyadari betapa pentingnya Daerah Modal Aceh untuk dipertahankan, terutama apabila dilihat dari strategi geopolitik nasional dan internasional.
Mengobarkan Perang Grilya
Setelah Macan Kumbang di Kutacane dibangun sebagai markas resimen dan persiapan logistik, permukiman keluarga diselesaikan, maka pembangunan teritorial bersama pejabat pemerintahan Tanah Alas segera dilaksanakan oleh Djamin Gintings. Beliau masuk dan keluar kampung sampai kepelosok Tanah Alas, bertemu dengan Penghulu Kampung (Kepala Desa). Di benak beliau berkecamuk pemikiran, kalau Belanda menyerbu dan menduduki Kutacane, mampukah Resimen IV mempertahankan Tanah Alas dengan mengembangkan perang grilya? Pertanyaan itulah yang hendak beliau jawab.
Tetapi, pada tgl. 22 Desember 1948, malam harinya Djamin Gintings mengumpulkan semua perwira stafnya, dan semua Komandan Batalion. Rapat semalam suntuk sampai pagi hari itu membahas : (1) Apakah Tanah Alas mampu dipertahankan sampai tetes darah terakhir dengan cara militer konvensional, sementara persenjataan yang tidak seimbang dan persediaan amunisi yang terbatas pula, atau (2) TNI melakukan segera serangan terhadap kedudukan Belanda di Tanah Karo, berarti melanggar garis statusquo walaupun dengan cara bergrilya dengan perlengkapan seadanya? (Kadet Brastagi, 1981)
Kedua pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab. Apabila Belanda menyerang secara frontal Tanah Alas, dengan peralatan yang modern (panser, tank, pasukan berkuda/logistik) serta backing pesawat tempur, maka Kutacane pasti dapat segera diduduki Belanda. Ketika Tanah Alas jatuh ke tangan Belanda, maka Blang Kejeren, Singkel dan Aceh Selatan akan terancam pula. Daerah belakang Aceh ini, merupakan titik-titik lemah pertahanan Provinsi Aceh. Memang pertahanan Aceh bagian Timur dan sepanjang rel kereta api cukup kuat dan solid. Karena itu pula, waktu ada usul mengganti Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV yang pindah ke Kutacane dengan Kol. Muhammad Dien. Tapi Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh tidak setuju dan tetap mempertahankan Djamin Gintings. Tanah Karo dan Djamin Gintings tidak mungkin dipisahkan, sedangkan Tanah Karo merupakan bumper (penyangga) daerah belakang Provinsi Aceh yang menjadi modal republik.
Keesokan hari, sekitar jam tujuh pagi setelah perundingan di markas Macan Kumbang itu, pesawat tempur Belanda kembali memuntahkan pelurunya kearah pertahanan Djamin Gintings. Anehnya, Let.Kol. Djamin Gintings, seakan mendapat isyarat dari serangan udara itu untuk bertindak cepat. Tanpa meminta persetujuan Komandan Divisi (Kol.Hidayat di Kutaraja), beliau memutuskan untuk segera menyerang Mardinding dan Lau Balang. Keduanya adalah pos terdepan Belanda di Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan Aceh (Tanah Alas).
Keputusan merebut kedua benteng Belanda ini, bertepatan pula dengan siaran radio yang menyatakan Belanda telah menyerbu dan menduduki Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden RI kemudian ditawan. Dalam pidato singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV, terus terang menyatakan bahwa ” …memang saya belum mendapat perintah dari Komandan Divisi … tetapi demi keselamatan Negara RI saya akan memikul tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah yang diduduki Belanda itu …”
Penyerangan mendadak dan berani yang dilakukan Djamin Gintings ini, memang di luar dugaan Belanda, sehingga Belanda kucar-kacir mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar)–selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional. Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.