Tuesday, May 29, 2012

Sejarah Marga Tarigan

Merga Tarigan Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut.
Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut
Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita).
Adapun cabang-cabang dari merga Tarigan ini adalah sebagai berikut :
  • Tarigan Tua kampong asalnya di Purba Tua dekat Cingkes dan Pergendangen
  • Tarigan Bondong di Lingga
  • Tarigan Jampang di Pergendangen
  • Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Beras Tepu
  • Tarigan Cingkes di Cingkes
  • Tarigan Gana-gana di Batu Karang ;
  • Tarigan Peken di Sukanalu dan Namo Enggang
  • Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu
  • Tarigan Purba di Purba
  • Tarigan Sibero di Juhar, Kuta Raja, Keriahen Munte, Tanjong Beringen, Selakar, dan Lingga
  • Tarigan Silangit di Gunung Meriah (Deli Serdang)
  • Tarigan Kerendam di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana
  • Tarign Tegur di Suka
  • Tarigan Tambun di Rakut Besi dan Binangara
  • Tarigan Sahing di Sinaman

Sejarah Marga Perangin-angin

Marga Perangin-angin merupakan salah satu marga yang terdapat dalam suku karo. Merga Perangin-angin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :
  • Peranginangin Sukatendeli Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :
    • Peranginangin Kuta Buloh Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.
    • Peranginangin Jombor Beringen Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.
    • Peranginangin Jenabun Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal.
  • Peranginangin Kacinambun Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
  • Peranginangin Bangun Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang.
    Merga ini juga pecah menjadi :
    • Keliat Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.
    • Beliter Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.
  • Peranginangin Mano Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
  • Peranginangin Pinem Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara dengan Lambing, nenek moyang merga Sebayang dan Utihnenek moyang merga Selian di Pakpak.
  • Sebayang Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas.
  • Peranginangin Laksa Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.
  • Peranginangin Penggarun Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo.
  • Peranginangin Uwir
  • Peranginangin Sinurat Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
  • Peranginangin Pincawan Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.
  • Peranginangin Singarimbun Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.
  • Peranginangin Limbeng Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.
  • Peranginangin Prasi Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.

Monday, May 28, 2012

Asal-Usul Marga Karo-Karo

Merga Karo-Karo merupakan salah satu merga/marga yang ada di suku karo yang terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu :
  • Karo-Karo Purba Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular.
    Dari isteri umang lahirlah merga-merga :
    • Purba Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.
    • Ketaren Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).
    • Sinukaban Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban..
    Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :
    • Karo-Karo Sekali Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.
    • Sinuraya/Sinuhaji Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji.
    • Jong/Kemit Merga ini mendirikan kampung Mulawari.
    • Samura
    • Karo-Karo Bukit
    Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal.
  • Karo-Karo Sinulingga Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga.
    Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :
    • Kaban Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,
    • Kacaribu Merga ini medirikan kampung Kacaribu.
    • Surbakti Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong.
    Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak.
  • Karo-Karo Kaban Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin.
  • Karo-Karo Sitepu Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.
  • Karo-Karo Barus Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.

  • Karo-Karo Manik Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.

Asal-usul Marga Ginting

 Merga Ginting merupakan salah satu marga yang ada pada suku karo.Merga Ginting terbagi pula menjadi sub-sub merga, terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :
  • Ginting Pase Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase. (Petra : Bisa dibaca di sini)
  • Ginting Munthe Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.
  • Ginting Manik Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.
  • Ginting Sinusinga
  • Ginting Seragih Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.
  • Ginting Sini Suka Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :
    • Ginting Babo
    • Ginting Sugihen
    • Ginting Guru Patih
    • Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
    • Ginting Beras
    • Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
    • Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
    • Ginting Ajar Tambun
    • Ginting Jadi Bata
    Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.
  • Ginting Jawak Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.
  • Ginting Tumangger Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor.
  • Ginting Capah Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo.

Tuesday, April 17, 2012

TENAH KERJA – TUMBUK ERDEMU BAYU / PETUTURKEN


Tumbuk Erdemu Bayu! Alangkah senang dan bahagia jikalau menerima undangan ataupun sekedar kabar berita “Tenah Kerja….. Tumbuk Erdemu Bayu” baik dari anggota keluarga ataupun sahabat kita. Namun, tahukah Anda makna sesungguhnya yang tersirat dalam kepala surat undangan pernikahan Karo tersebut?
Kebanyakan dari kita tidak mau ambil pusing dan dengan gamblang akan mengatakan “itu menandakan undangan pernikahan!” Ya, memang benar! Tapi, apakah sudah sepenuhnya benar atau sudahkah kita yakin akan kebenaran dari pemahaman yang kita terima yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama ini? Hm…. Bagaimana? Atau mungkin, setelah membaca ini Anda merasa sedikit dibohongi, ataupun memilih tidak peduli saja? Hahahaha….

Ok! Agar jangan membuat Anda bertanya-tanya apa sebenarnya maksud saya, ada baiknya saya mau sekedar mengingatkan(bukan menggurui ataupun mengajari) yang sedikit telupa, keliru, atau mungkin salah tulis tentang adat Nereh – Empo atau perjabun(pernikahan) dalam masyarakat Karo yang berkaitan dengan judul diatas(Erdemu Bayu) yang didasarkan pada jauh dekatnya(jarak) hubungan kekerabatan dari dua belah mempelai(calon pengantin/yang akan menikah), dimana dalam adat Karo dikenal dalam 4(empat) jenis pernikahan, yakni:

1. Petuturken
Petuturken, yaitu penikahan antatara dua belah pihak(laki-laki dan perempuan) yang dimana ayah si perempuan dan ibu si laki-laki, “bukan bersaudara!”(tidak se-merga/beru). Dalam adat Karo dikatakan: “mereka(si laki-laki dan perempuan yang ingin menikah) bukan [e-]rimpal” dan pernikahan yang seperti ini tidak dilarang asalkan mereka bukan erturang(satu merga ataupun sub-merga, kecuali pada beberapa sub-merga dari merga Sembiring dan Peranginangin), erturang sepemeren(tutur) dan erturang impal, atupun adanya perjanjian antara merganya(sub-merga) atau keluarga secara pribadi, seperti pada sub-merga Karo-karo “Sitepu” dengan sub-merga Peranginangin “Sebayang”.

2. Erdemu Bayu
Erdemu Bayu, adalah pernikahan yang dimana ayah si perempuan adalah bersaudara(baik ber-saudara kandung maupun se-merga, atau sub-merga) dengan ibu si laki-laki. Dalam adat Karo hubungan ini(si laki-laki dan perempuan) disebut “[e-]rimpal” Adat Karo sangat mendukung dan menyarankan hubungan(pernikahan) seperti ini! Dalam hal ini, si perempuan disebut dengan beru puhun atau lebih luas dikenal dengan beru singumban.

3. Merkat Sinuan
Merkat Senuan, adalah pernikahan antara perempuan yang kedudukan orang tuan dan keluarganya secara adat dalam keluarga si laki-laki yang hendak menikahinya dalah sebagai Puang Kalimbubu. Ataupun dengan kata lain, antara putri Puang Kalimbubu dengan Anak Beru Menteri-nya (anak beru mentri ayah si perempuan). Atau dengan kata lain, seorang laki-laki hendak menikahi impal dari impalnya(turangku-nya). Dalam adat Karo, hubungan mereka ini sesungguhnya dikatakan er-turangku, yang dimana ditabukan untuk berhubungan bahkan bersapaan-pun dilarang oleh adat(rebu).
Pernikahan yang seperti ini dalam adat Karo sebisa mungkin sangat dihindari, namun dalam beberapa situasi dan keadaan pada zaman sekarang ini sudah dapat dimaklumi dan diterima walau oleh karena beberapa hal sebagai pertimbangan.
Beberapa hal yang biasa menjadi alasam sehingga pernikahan semacam ini terjadi, adalah sebagai berikut.
- Kalimbubu tidak menikahi putri dari Puang Kalimbubu
- Kalimbubu tidak memiliki putra atau bahkan tidak memiliki putra yang seusia dengan putri Puang Kalimbubu untuk menikahi anak(putri) dari Puang Kalimbubu itu.
- Kalimbubu tidak mempunyai putri untuk dinikahi(tidak ada impal kita), sehingga untuk terus menjalin silaturahmi dan terjalinnya terus hubungan kekeluargaan diusulkanlah untuk diadakan hubungan(pernikahan) merkat sinuan ini.
- Perlajangen(perantauan) juga sering menjadi sebuah alasan hubungan ini dapat terjalin. Oleh karena tingal di tempat perantauan yang sama dan tidak ada pria atau wanita Karo ditempat mereka, sehingga untuk mempertahankan darah adat, alasan ini dapat dimaklumi.

4. La Arus
La [h-]Arus(tidak seharusnya, pantang, tabu, dilarang, dihindari) dalam masyarakat(adat) Karo seseorang menikahi(menikah) dengan turang(kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin), turang impal, ataupun turang sepemeren. Hal ini sangat dihindari bahkan dikatakan la arus(tidak seharusnya, tidak pantas), sehingga ada anekdot Karo mengataken “badau(saling memangsa)”, apalagi dengan turang baik se-merga, sub-merga, ataupun turang sepemeren(ibu bersaudara). Mungkin untuk turang sepemeren ini, yang dilarang adalah se-pemeren yang masih dalam satu darah keturunan(ibu bersaudara kandung atau setidaknya satu kakek) walaupun demikian sebisa mungkin ini juga sangat dihindari.
Yups! Itulah empat jenis pernikahan pada masyarakat Karo jika ditinjau dari Orat tutur(sistem kekerabatan) yang berdasarkan jauh dekatnya(jarak) hubungan kekerabatannya.
Bagaimana? Apakah pernikahan Anda juga “Erdemu Bayu” atau Anda merasa ditipu atau dibohongi oleh si-pengundang dengan mengatakan kerja perjabun(pesta pernikahan)-nya merupakan kerja perjabun erdemu bayu? Hehehe.! Tidak usah marah, karena itu sudah menjadi sebuah kekeliruan yang lazim.! Lazim?
Namun, pertanyaanya adalah “Apakan kekeliruan itu akan terus kita pelihara?” Ingat, sedikit kekeliruan mengacu untuk membuat kekeliruan yang lebih besar! Seperti pepatah mengatakan “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit” Hari ini, identitas Karo yang kabur oleh karena pengaruh kepercayan(kepercayaan yang pragmatis) dan bicara(kebiasaan), mungkin besok adat Karo itu yang benar-benar hilang oleh tidak adanya pengetahuan tentang adat Karo yang asli(sebenarnya) dan tidak adanya rasa kecintaan, menghormati, dan keterbebanan untuk mempelajari dan melestarikan, seperti yang diutarakan oleh M. Ukur Ginting: ‘Akar Silo’ taau “Adat Karo Sirulo”. Mejuah-juah! Bujur!

Skema Pertuturen Karosumber : http://arikokena.blogspot.com

Ertutur

Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan. Ertutur merupakan satu pilar dalam kebudayaan kita. Dewasa ini, semakin banyak orang muda yang tidak mengerti lagi orat tutur membuat kalangan orang tua Karo merasa khawatir dengan kondisi itu, sebab bisa menggoyahkan eksistensi suku Karo dalam peradapan modern ini.
Budaya ertutur di barat disebut orang greetings. Di daerah lain juga ada budaya berkenalan dengan sebutan yang berbeda tentunya. Namun bagi orang Karo ertutur memiliki makna lebih sekedar berkenalan. Di masyarakat Karo yang memiliki karakteristik hidup bermasyarakat secara kolektif yang akrab tercermin lewat sistem sangkep nggeluh merga si lima, rakut si telu dan tutur siwaluh. Semboyan ­eret-eret dengan simbolisasi cecak meneguhkan hal ini. Aku kap kam, kam kap aku! Dan orat tutur merupakan perekat dan penghubung yang sangat penting, sampai-sampai ada seminar ertutur di Jakarta belum lama ini. Meski terkadang orang terkesan banyak berbasa-basi dalam ertutur. “Eak, kita tading i Batu Jongjong, singgah kam ku rumah adi reh kam ku jah”, umpamanya.
Bila berkenalan, orang Karo mencari hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain menurut adat dan tingkatan ganjang-teruhna dalam terombo. Dalam ertutur orang tidak pernah menanyakan piga motorndu? entah piga hektar sawitndu? atau pertanyaan lain menyangkut harta dan tahta. Itu tidak etis. Namun, hal yang sangat mendasar tentunya menanyakan marga/beru, bere-bere hingga soler ada sampai enam lapis (tingkatan keatas-kebawah maupun secara horizontal). Karena marga menentukan hubungan, maka orang yang belum memiliki marga/beru Karo harus ditabalkan dahulu supaya dapat ditentukan hubungannnya dalam sistem kekekerabatan orang Karo. Megawati mantan presiden misalnya, beru Peranginangin, Sudharmono mantan wakil presiden merga Sitepu atau Letjen HBL Mantiri merga Kembaren dst. Selain marga, informasi jumlah anak juga selalu disinggung dalam ertutur karena jaman dahulu (apalagi) anak laki-laki merupakan first asset. Setali tiga uang dengan falsafah orang Toba, Maranak sapulu pitu marboru sapulu onom. Itu wajar saja karena dalam culture yang agraris, dahulu anak laki-laki dan perempuan dipersiapkan untuk bekerja di lahan pertanian. Semakin banyak anak tentu semakin luas lahan yang bisa digarap.
“Anakta sepuluh dua, sebelas dilaki sada diberu. Sintua gelarna Robinhood, jadi penggelarennku Bp. Robin!” contoh dialog dalam ertutur. Nah, bagi orang Karo justru nama terakhir kali disebutkan. Itu pun kesannya nama orang itu tak perlu diingat. Sehingga banyak sekali nama orang tua jaman dahulu tidak dikenal orang banyak, seperti Sibayak Pa Mbelgah, Sibayak Pa Pelita, Pa Tolong dan lainnya tidak diketahui siapa nama sebenarnya. Setelah menikah dan memiliki keturunan maka gelar bagi orang Karo masap, nama populernya langsung diberi nama anaknya paling tua. Sehingga orang belum memiliki anak pun diberi panggilan akrap bapa/nande Sope. Bicara soal yang ini, teringat semasa kecil saya sering ditakut-takuti supaya tidak menyebut nama orang yang lebih tua dari kita. Kari turah jaung ibas igung, katanya. Namun sewaktu di sekolah dasar dahulu, seringkali teman-teman saya saling mengolok-olok dengan menyebut nama orang tuanya. Ada nama bapaknya Tamat di olok-olok ‘masih ada sambungannya!’ Sampai suka terjadi perkelahian.
Berbeda dengan greetings di barat yang memperkenalkan diri lazim menyebut nama dahulu baru yang lainnya. Walau William Shakspear mengatakan, apalah arti sebuah nama? Namun demikian, di barat nama-nama orang dibuat bagus-bagus apalagi kalau dibanding orang Karo tempo doeloe dalam membuat nama terkesan asal-asalan. Selait itu, mungkin letak perbedaan yang lain kita dengan bule, bahwa mereka lebih banyak bertanya soal-soal present and future, dan diakhiri dengan saling tukar kartu nama. Itu lebih menekankan perkenalan pada soal peluang. Sedangkan kita justru lebih mendalam menanyakan masa soal lalu. Bila perlu menanyakan seseorang yang mungkin sudah wafat di satu kampung sekedar mencari tahu pertalian kekerabatan.
“Adi bage, Pa Guntar e kadendu?”
“Iahh, aku erbengkila ku ia, sembuyak bapa kal ia ras bapa si mupus aku.”
“Eee…adi bage kam pe erbengkila bangku, kami senina sepemeren” sepenggal dialog yang lain. Percakapan seperti ini, menunjukkan bagaimana kekerabatan bagi orang Karo sangat dekat. Orang yang jauh sekalipun, bisa dicari-cari jalurnya supaya bisa lebih dekat.
Sementara di barat kekerabatan mungkin lebih pendek, mungkin hanya memiliki dua tingkatan ke atas dan ke bawah, kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu dan cucu. Pertalian kekerabatannya jauh lebih longgar dibandingkan dengan kita. Karena itu kesan kekeluargaan mereka jauh lebih ‘tipis’. Individualisme disana sangat dipenagruhi dasar negara yang liberal, berbanding terbalik dengan kita yang konon suka bergotong-royong sehingga rasa persaudaraan sangat kental. Hanya saja perkembangan jaman, kebersamaan kita justru makin kendor digogoti individualisme tadi. Bahkan menjadi tak populer lagi, seperti falsafah jawa mangan ora mangan asal ngumpul. Itu tidak relevan lagi!
Hmm, tersinget tersena katak la rikur. Sepertinya saya juga terlalu utopis dengan superioritas budaya barat. Ahh, mirip kuan-kuan kalak Karo. Bagi bernawit ngkapiti biang perburu, nina. Lape kapiti banci kita rintakna! Heh, cocok Kam rasa? Begitu kan?!


sumber : http://www.perkantong-samping.blogspot.com

Arti Kata "Turang-Senina" Dalam Kehidupan Gereja

Bagi suku Karo, istilah “Turang Senina” dipakai bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga, akibat sakralnya istilah ini, juga kerab kita dengar dalam ibadah-ibadah Gereja.  Diucapkan oleh pembicara atau pengkhotbah. Apa sebenarnya makna ucapan ini? Mengapa tidak disebutkan mama/ mami, bapa/ nande, agi/ kaka, nini/ bulang atau yang lainya?
Dalam tradisi Karo, pengertian ‘Turang Senina’  sering dijabarkan bila seseorang dengan yang lainya memiliki hubungn kekeluargaan yang dilihat dari garis keturunan (merga) yang sama.  Bila dalam rumpun Merga Silima (Karo-Karo, Ginting,Tarigan, Sembiring, Pranginangin) memiliki merga sama, dianggap erturang. Kecuali, bila dalam onggar  tutur , berada di level anak beru atau kalimbubu. Di samping itu, penjabaran ‘Turang Senina’ masih dapat dikategorikan lagi menjadi 3 bagian yang mempunyai pengertian sama.  Yakni: ‘Turang Senina (Sipemeren, Siparibanen dan Sipengalon) yang terangkum dalam Rakut Sitelu.
Konsekwensinya, ucapan ‘Turang Senina’ dalam tradisi Karo  membina keterikatan kekeluargaan, memepererat persaudaraan (ikatan bathin), merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga  terjalin keakraban berkomunikasi dalam hidup.
Lantas, apa makna ucapan kata ‘Turang Senina’ dalam ibadah (ritual) Gereja?  Bila kita cermati, penggunaan kata ‘Turang Senina’ kerab diucapkan atau muncul pada pembukaan pembicaraan atau memulai atau mengakhiri ucapan. Dalam arti, pemakaian kata dimaksud tidak pernah ketinggalan.
Apakah seorang pengkotbah (pembicara) yang sering mengucapkan kata ‘Turang Senina’  dalam ibadah benar-benar menghayati ucapannya sesuai makna dan fungsinya di dalam tradisi  Karo?
Turang berarti saudara berbeda jenis kelamin dan senina saudara dengan jenis kelamin (Saudara seiman dalam Tuhan karena memiliki satu tujuan untuk memuliakan nama Tuhan). Atau, hanya sebatas retorikan belaka karena kehabisan kamus?
Dari kaca mata penulis, penjabaran ‘Turang Senina’  dalam kehidupan Gereja masih belum dijalankan dan dipraktekkan sebagaimana mestinya sesuai fungsinya. Pengucapanya disinyalir sebatas pelengkap kata dalam arti belum sepenuhnya keluar dari dalam hati nurani.
Sebagai bukti, antara sesama anggota jemaat, maupun pengurus Gereja, pengkotbah masih sering terjadi kesalahpahaman. Saling menuding, saling menyalahkan, memprovokasi, iri, dengki, politik kotor, yang tak berujung. Sehingga, kadang kala,  menimbulkan kelompok-kelompok tertentu, dan seterusnya terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja. (Matius 7:5).
Saran penyelesaian dari Penulis (Matius 6:33). Marilah kita tanamkan kalimat “Saudara Seiman” (Turang Senina Ibas Tuhan) pribadi lepas pribadi sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Yesus sehingga kita selalu dapat hidup setia kepada Tuhan dan saling menghargai sesama manusia, melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih, agar  kita dapat hidup berdampingan.  Sehingga dapat terwujud warga Gereja yang dapat dipercaya sesuai dengan Visi dan Misi  GBKP dan dapat melaksanakan Tri Tugas Gereja (Koinonia, Marturia, Diakonia).

Bandingkan Matius 5:3-11) Semoga………………..
Catatan: Imanuel Sitepu
sumber : http://www.sorasirulo.net

Saturday, April 14, 2012

Siwaluh Jabu, Rumah Adat Suku Karo

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.



Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
    a. Rumah sianjung-anjung Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
    b. Rumah Mecu. Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.
Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
    a. Rumah Sangka Manuk. Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
    b. Rumah Sendi. Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik. Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.   
      Jabu dalam Rumah Adat
    Si waluh jabuRumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain. Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu. Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
      1. Jabu Benana Kayu. Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya. Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
      2. Jabu ujung Kayu (anak beru). jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
      3. Jabu Lepar Benana Kayu Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi).
      4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem) Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem. Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas jabu.
      5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel). Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.
      6. jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng). Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.
      7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru). Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
      8. Jabu sedapuren lepar benana kayu Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu. 
      Sumber: Darwin Prinst (Adat Karo)