Lingga adalah salah satu desa yang menjadi daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo Sumatera Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km dari Brastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe ibu kabupaten Karo. Lingga merupakan perkampungan Karo yang unik, memiliki rumah-rumah adat yang diperkirakan berumur 250 tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Rumah tersebut dihuni oleh 6-8 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini tidak memiliki ruangan yang dipisahkan oleh pembatas berupa dinding kayu atau lainnya.
Pada zaman dahulu desa Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain, kesain merupakan pembagian wilayah desa yang namanya disesuaikan dengan marga yang menempati wilayah tersebut. Nama-nama kesain di desa Lingga adalah : Kesain Rumah Jahe, Kesain Rumah Bangun, Kesain Rumah Berteng, Kesain Rumah Julu, Kesain Rumah Mbelin, Kesain Rumah Buah, Kesain Rumah Gara, Kesain Rumah Kencanen, Kesain Rumah Tualah, kesemuanya merupakan kesain milik marga/ klan Sinulingga. Sedangkan untuk non Sinulingga hanya terdiri dari tiga bagian yaitu: Kesain Rumah Manik, Kesain Rumah Tarigan, Kesain Rumah Munte.
Pemakaian nama-nama kesain masih dipakai hingga saat ini oleh sebagian penduduk. Saat ini seiring dengan pertumbuhan penduduk Desa Lingga telah terbagi dua ditinjau dari segi wilayah dan juga penyebutan oleh penduduk setempat dan penduduk desa sekitar yaitu Lingga Lama dan Lingga Baru, Lingga Lama atau sering juga disebut Desa Budaya Lingga adalah wilayah desa yang awal, sedangkan Lingga Baru merupakan desa bentukan pemerintah untuk merelokasi penduduk dan membentuk suatu bentuk perkampungan yang lebih tertata, awalnya wilayah ini dibuat untuk merelokasi perumahan penduduk yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian dan ketradisionilan Lingga Lama sebagai sebuah Desa Budaya.
Untuk mencapai lokasi ini, hanya memerlukan waktu sekitar 2,5 Jam (jika kondisi jalan normal) dari Kota Medan untuk sampai ke Desa Lingga ini menggunakan Sepeda Motor. Jika memulai perjalanan dari Kota Medan, langsung saja mengarah ke Kota Berastagi dan melewati Pajak. Sesampainya di persimpangan empat yang terdapat sebuah Tugu Kol, langsung saja berbelok ke Kanan. Nanti akan terlihat sebuah Papan arah yang menunjukkan ke Desa Budaya Lingga berjarak sekitar 12 KM lagi.
Terus saja mengikuti jalur utama. Selama perjalanan, dapat dilihat Gunung Sinabung yang begitu Indah dan Kokoh, meskipun saat itu terlihat gersang pasca letusan beberapa bulan lalu. Sekitar 15 menit berlalu, maka sampailah disebuah persimpangan empat dekat kantor Camat simpang Empat. Pada persimpangan ini, lanjutkan perjalanan dengan berbelok kekiri.
Terus saja jalan sampai menemukan simpang tiga yang
dipinggir jalannya terdapat sebuah Tugu Sibayak Lingga. Pada simpang tersebut langsung saja berbelok
Kekanan. Lanjutkan perjalanan hingga anda sampai di Gapura atau gerbang
bertuliskan Mejuah-Juah dan background dibelakangnya ada lah Gunung Sinabung.
Keren kan
Langsung Saja deh masuk kedalamnya dan ikuti jalan yang ada,
setelah melewati gerbang tadi, jalan yang ada tidaklah mulus lagi, hanya
berjarak kurang lebih 100 meter, kini sampailah di depan Rumah Adat Karo Desa
Lingga. Terlihat ada dua Rumah Adat Karo yang masih berdiri kokoh dan masih
ditempati. Padahal dulunya ada beberapa lagi Rumah Adat Karo di Desa Lingga ini,
namun karena kurang perhatian dari pemerintah daerah tersebut, akhirnya
rumah-rumah tersebut hancur dengan sendirinya karena warga tidak sanggup
memperbaiki rumah tersebut tanpa adanya bantuan dana dari pemerintah daerah.
Dua Rumah yang tersisa yaitu Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo serta satu lagi
yang bernama Sapo Ganjang, ini merupakan tempat musyawarah
Rumah Adat Gerga didirikan sekitar tahun 1860an dihuni oleh
12 keluarga/Jabu dalam satu rumah tersebut. Rumah adat Belang Ayo didirikan
sekitar tahun 1862 dan dihuni oleh 8 Jabu/keluarga. Rumah adat yang masih bagus
dan dapat ditempati tersebut sebelumnya telah di perbaiki oleh kerjasama World
Monuments Fund (WMF), Universitas Katholik Santo Thomas Medan, dan Badan
Warisan Sumatera pada tahun 2012. Rumah Adat Karo memang unik, karena
bangunannya tida menggunakan paku, melainkan hanya diikat-ikat dengan pasak dan
Tali. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujungnya terdapat anyaman bambu
berbentuk segitiga disebut ayo-ayo.
Pada puncak ayo-ayo terpasang
kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah. Hal itu dipercaya dapat menolak
bala. Tinggi rumah sekitar 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya
berjumlah 16 buah dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan
sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai
dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah
timur. Selain dua Rumah adat tersebut ada satu lagi yaitu Sapo Ganjang
didirikan pada tahun 1870, tempat ini berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah/Runggu, dan juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
Setelah melihat Rumah Adat Karo, tidak ada salahnya untuk
mampir ke Museum Lingga. Museum ini telah didirikan oleh Pangkowilham Kodam II
Bukit Barisan, G.H Mantik pada tahun 1977. Museum ini dibuka secara resmi untuk
umum pada tanggal 6 Juni 1989. Museum ini menyimpan 206 koleksi seperti
peralatan dapur, topeng, kain, alat musik, alat berburu, alat pertanian, mata
uang, dan berbagai benda bersejarah lainnya.
Semoga saja Rumah Adat Karo di
Desa Lingga akan selalu ada, dan berharap pemerintah daerah mau memberi
perhatian lebih terhadap Rumah Adat Karo ini, karena ini merupakan bagian dari
Budaya dan Sejarah di Indonesia. Sehingga kelak, anak dan Cucu kita bisa
mengenal budaya dan sejarah serta dapat melihat langsung keunikan Rumah adat
Karo ini, yang dibangun tanpa Paku.
Credit to : http://www.medanwisata.com