Tuesday, April 17, 2012

Ertutur

Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan. Ertutur merupakan satu pilar dalam kebudayaan kita. Dewasa ini, semakin banyak orang muda yang tidak mengerti lagi orat tutur membuat kalangan orang tua Karo merasa khawatir dengan kondisi itu, sebab bisa menggoyahkan eksistensi suku Karo dalam peradapan modern ini.
Budaya ertutur di barat disebut orang greetings. Di daerah lain juga ada budaya berkenalan dengan sebutan yang berbeda tentunya. Namun bagi orang Karo ertutur memiliki makna lebih sekedar berkenalan. Di masyarakat Karo yang memiliki karakteristik hidup bermasyarakat secara kolektif yang akrab tercermin lewat sistem sangkep nggeluh merga si lima, rakut si telu dan tutur siwaluh. Semboyan ­eret-eret dengan simbolisasi cecak meneguhkan hal ini. Aku kap kam, kam kap aku! Dan orat tutur merupakan perekat dan penghubung yang sangat penting, sampai-sampai ada seminar ertutur di Jakarta belum lama ini. Meski terkadang orang terkesan banyak berbasa-basi dalam ertutur. “Eak, kita tading i Batu Jongjong, singgah kam ku rumah adi reh kam ku jah”, umpamanya.
Bila berkenalan, orang Karo mencari hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain menurut adat dan tingkatan ganjang-teruhna dalam terombo. Dalam ertutur orang tidak pernah menanyakan piga motorndu? entah piga hektar sawitndu? atau pertanyaan lain menyangkut harta dan tahta. Itu tidak etis. Namun, hal yang sangat mendasar tentunya menanyakan marga/beru, bere-bere hingga soler ada sampai enam lapis (tingkatan keatas-kebawah maupun secara horizontal). Karena marga menentukan hubungan, maka orang yang belum memiliki marga/beru Karo harus ditabalkan dahulu supaya dapat ditentukan hubungannnya dalam sistem kekekerabatan orang Karo. Megawati mantan presiden misalnya, beru Peranginangin, Sudharmono mantan wakil presiden merga Sitepu atau Letjen HBL Mantiri merga Kembaren dst. Selain marga, informasi jumlah anak juga selalu disinggung dalam ertutur karena jaman dahulu (apalagi) anak laki-laki merupakan first asset. Setali tiga uang dengan falsafah orang Toba, Maranak sapulu pitu marboru sapulu onom. Itu wajar saja karena dalam culture yang agraris, dahulu anak laki-laki dan perempuan dipersiapkan untuk bekerja di lahan pertanian. Semakin banyak anak tentu semakin luas lahan yang bisa digarap.
“Anakta sepuluh dua, sebelas dilaki sada diberu. Sintua gelarna Robinhood, jadi penggelarennku Bp. Robin!” contoh dialog dalam ertutur. Nah, bagi orang Karo justru nama terakhir kali disebutkan. Itu pun kesannya nama orang itu tak perlu diingat. Sehingga banyak sekali nama orang tua jaman dahulu tidak dikenal orang banyak, seperti Sibayak Pa Mbelgah, Sibayak Pa Pelita, Pa Tolong dan lainnya tidak diketahui siapa nama sebenarnya. Setelah menikah dan memiliki keturunan maka gelar bagi orang Karo masap, nama populernya langsung diberi nama anaknya paling tua. Sehingga orang belum memiliki anak pun diberi panggilan akrap bapa/nande Sope. Bicara soal yang ini, teringat semasa kecil saya sering ditakut-takuti supaya tidak menyebut nama orang yang lebih tua dari kita. Kari turah jaung ibas igung, katanya. Namun sewaktu di sekolah dasar dahulu, seringkali teman-teman saya saling mengolok-olok dengan menyebut nama orang tuanya. Ada nama bapaknya Tamat di olok-olok ‘masih ada sambungannya!’ Sampai suka terjadi perkelahian.
Berbeda dengan greetings di barat yang memperkenalkan diri lazim menyebut nama dahulu baru yang lainnya. Walau William Shakspear mengatakan, apalah arti sebuah nama? Namun demikian, di barat nama-nama orang dibuat bagus-bagus apalagi kalau dibanding orang Karo tempo doeloe dalam membuat nama terkesan asal-asalan. Selait itu, mungkin letak perbedaan yang lain kita dengan bule, bahwa mereka lebih banyak bertanya soal-soal present and future, dan diakhiri dengan saling tukar kartu nama. Itu lebih menekankan perkenalan pada soal peluang. Sedangkan kita justru lebih mendalam menanyakan masa soal lalu. Bila perlu menanyakan seseorang yang mungkin sudah wafat di satu kampung sekedar mencari tahu pertalian kekerabatan.
“Adi bage, Pa Guntar e kadendu?”
“Iahh, aku erbengkila ku ia, sembuyak bapa kal ia ras bapa si mupus aku.”
“Eee…adi bage kam pe erbengkila bangku, kami senina sepemeren” sepenggal dialog yang lain. Percakapan seperti ini, menunjukkan bagaimana kekerabatan bagi orang Karo sangat dekat. Orang yang jauh sekalipun, bisa dicari-cari jalurnya supaya bisa lebih dekat.
Sementara di barat kekerabatan mungkin lebih pendek, mungkin hanya memiliki dua tingkatan ke atas dan ke bawah, kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu dan cucu. Pertalian kekerabatannya jauh lebih longgar dibandingkan dengan kita. Karena itu kesan kekeluargaan mereka jauh lebih ‘tipis’. Individualisme disana sangat dipenagruhi dasar negara yang liberal, berbanding terbalik dengan kita yang konon suka bergotong-royong sehingga rasa persaudaraan sangat kental. Hanya saja perkembangan jaman, kebersamaan kita justru makin kendor digogoti individualisme tadi. Bahkan menjadi tak populer lagi, seperti falsafah jawa mangan ora mangan asal ngumpul. Itu tidak relevan lagi!
Hmm, tersinget tersena katak la rikur. Sepertinya saya juga terlalu utopis dengan superioritas budaya barat. Ahh, mirip kuan-kuan kalak Karo. Bagi bernawit ngkapiti biang perburu, nina. Lape kapiti banci kita rintakna! Heh, cocok Kam rasa? Begitu kan?!


sumber : http://www.perkantong-samping.blogspot.com

No comments:

Post a Comment