Bagi suku Karo, istilah “Turang Senina” dipakai bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga, akibat sakralnya istilah ini, juga kerab kita dengar dalam ibadah-ibadah Gereja. Diucapkan oleh pembicara atau pengkhotbah. Apa sebenarnya makna ucapan ini? Mengapa tidak disebutkan mama/ mami, bapa/ nande, agi/ kaka, nini/ bulang atau yang lainya?
Dalam tradisi Karo, pengertian ‘Turang Senina’ sering dijabarkan bila seseorang dengan yang lainya memiliki hubungn kekeluargaan yang dilihat dari garis keturunan (merga) yang sama. Bila dalam rumpun Merga Silima (Karo-Karo, Ginting,Tarigan, Sembiring, Pranginangin) memiliki merga sama, dianggap erturang. Kecuali, bila dalam onggar tutur , berada di level anak beru atau kalimbubu. Di samping itu, penjabaran ‘Turang Senina’ masih dapat dikategorikan lagi menjadi 3 bagian yang mempunyai pengertian sama. Yakni: ‘Turang Senina (Sipemeren, Siparibanen dan Sipengalon) yang terangkum dalam Rakut Sitelu.
Konsekwensinya, ucapan ‘Turang Senina’ dalam tradisi Karo membina keterikatan kekeluargaan, memepererat persaudaraan (ikatan bathin), merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga terjalin keakraban berkomunikasi dalam hidup.
Lantas, apa makna ucapan kata ‘Turang Senina’ dalam ibadah (ritual) Gereja? Bila kita cermati, penggunaan kata ‘Turang Senina’ kerab diucapkan atau muncul pada pembukaan pembicaraan atau memulai atau mengakhiri ucapan. Dalam arti, pemakaian kata dimaksud tidak pernah ketinggalan.
Apakah seorang pengkotbah (pembicara) yang sering mengucapkan kata ‘Turang Senina’ dalam ibadah benar-benar menghayati ucapannya sesuai makna dan fungsinya di dalam tradisi Karo?
Turang berarti saudara berbeda jenis kelamin dan senina saudara dengan jenis kelamin (Saudara seiman dalam Tuhan karena memiliki satu tujuan untuk memuliakan nama Tuhan). Atau, hanya sebatas retorikan belaka karena kehabisan kamus?
Dari kaca mata penulis, penjabaran ‘Turang Senina’ dalam kehidupan Gereja masih belum dijalankan dan dipraktekkan sebagaimana mestinya sesuai fungsinya. Pengucapanya disinyalir sebatas pelengkap kata dalam arti belum sepenuhnya keluar dari dalam hati nurani.
Sebagai bukti, antara sesama anggota jemaat, maupun pengurus Gereja, pengkotbah masih sering terjadi kesalahpahaman. Saling menuding, saling menyalahkan, memprovokasi, iri, dengki, politik kotor, yang tak berujung. Sehingga, kadang kala, menimbulkan kelompok-kelompok tertentu, dan seterusnya terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja. (Matius 7:5).
Saran penyelesaian dari Penulis (Matius 6:33). Marilah kita tanamkan kalimat “Saudara Seiman” (Turang Senina Ibas Tuhan) pribadi lepas pribadi sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Yesus sehingga kita selalu dapat hidup setia kepada Tuhan dan saling menghargai sesama manusia, melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih, agar kita dapat hidup berdampingan. Sehingga dapat terwujud warga Gereja yang dapat dipercaya sesuai dengan Visi dan Misi GBKP dan dapat melaksanakan Tri Tugas Gereja (Koinonia, Marturia, Diakonia).
Bandingkan Matius 5:3-11) Semoga………………..
Catatan: Imanuel Sitepu
sumber : http://www.sorasirulo.net
Dalam tradisi Karo, pengertian ‘Turang Senina’ sering dijabarkan bila seseorang dengan yang lainya memiliki hubungn kekeluargaan yang dilihat dari garis keturunan (merga) yang sama. Bila dalam rumpun Merga Silima (Karo-Karo, Ginting,Tarigan, Sembiring, Pranginangin) memiliki merga sama, dianggap erturang. Kecuali, bila dalam onggar tutur , berada di level anak beru atau kalimbubu. Di samping itu, penjabaran ‘Turang Senina’ masih dapat dikategorikan lagi menjadi 3 bagian yang mempunyai pengertian sama. Yakni: ‘Turang Senina (Sipemeren, Siparibanen dan Sipengalon) yang terangkum dalam Rakut Sitelu.
Konsekwensinya, ucapan ‘Turang Senina’ dalam tradisi Karo membina keterikatan kekeluargaan, memepererat persaudaraan (ikatan bathin), merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga terjalin keakraban berkomunikasi dalam hidup.
Lantas, apa makna ucapan kata ‘Turang Senina’ dalam ibadah (ritual) Gereja? Bila kita cermati, penggunaan kata ‘Turang Senina’ kerab diucapkan atau muncul pada pembukaan pembicaraan atau memulai atau mengakhiri ucapan. Dalam arti, pemakaian kata dimaksud tidak pernah ketinggalan.
Apakah seorang pengkotbah (pembicara) yang sering mengucapkan kata ‘Turang Senina’ dalam ibadah benar-benar menghayati ucapannya sesuai makna dan fungsinya di dalam tradisi Karo?
Turang berarti saudara berbeda jenis kelamin dan senina saudara dengan jenis kelamin (Saudara seiman dalam Tuhan karena memiliki satu tujuan untuk memuliakan nama Tuhan). Atau, hanya sebatas retorikan belaka karena kehabisan kamus?
Dari kaca mata penulis, penjabaran ‘Turang Senina’ dalam kehidupan Gereja masih belum dijalankan dan dipraktekkan sebagaimana mestinya sesuai fungsinya. Pengucapanya disinyalir sebatas pelengkap kata dalam arti belum sepenuhnya keluar dari dalam hati nurani.
Sebagai bukti, antara sesama anggota jemaat, maupun pengurus Gereja, pengkotbah masih sering terjadi kesalahpahaman. Saling menuding, saling menyalahkan, memprovokasi, iri, dengki, politik kotor, yang tak berujung. Sehingga, kadang kala, menimbulkan kelompok-kelompok tertentu, dan seterusnya terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja. (Matius 7:5).
Saran penyelesaian dari Penulis (Matius 6:33). Marilah kita tanamkan kalimat “Saudara Seiman” (Turang Senina Ibas Tuhan) pribadi lepas pribadi sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Yesus sehingga kita selalu dapat hidup setia kepada Tuhan dan saling menghargai sesama manusia, melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih, agar kita dapat hidup berdampingan. Sehingga dapat terwujud warga Gereja yang dapat dipercaya sesuai dengan Visi dan Misi GBKP dan dapat melaksanakan Tri Tugas Gereja (Koinonia, Marturia, Diakonia).
Bandingkan Matius 5:3-11) Semoga………………..
Catatan: Imanuel Sitepu
sumber : http://www.sorasirulo.net
No comments:
Post a Comment