Saturday, July 6, 2013

MUKUL (PERSADA TENDI) SUKU KARO

Setelah acara pesta Adat Perkawinan Karo selesai diadakan, dilanjutkan dengan acara makan bersama (mukul) kedua pengantin yang dibarengi sanak keluarga terdekat. Acara ini diadakan dirumah kedua pengantin dan kalau rumahnya belum ada, diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki tetapi kalau didaerah Langkat acara mukul ini diadakan dirumah pengantin perempuan. Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru tersebut. Untuk acara tersebut oleh Kalimbubu Singalo Bere-Bere disiapkan Manok Sangkep berikut sebutir telur ayam.

Untuk tempat makan disiapkan pinggan pasu beralaskan uis arinteneng diatas amak cur. Didaerah Langkat acara Mukul ini diawali dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju rumah orangtua pengantin perempuan dan sesampai dipintu rumah orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk ditepung tawari dengan ngamburken beras meciho kepada kedua pengantin. Hadirin lalu “ralep-alep” dan “ndehile” dan ketika nepung wari (njujungi beras) ini Kalimbubu memberi petuah atau berkat (pasu-pasu) : “Enda amburi kami kam alu beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana”. (ini kami hamburkan/tuangi kalian dengan beras putih bening, karena itu keras(kuat) pun beras ini lebih keras(kuat) Roh kalian berdua.

Setelah itu baru masuk kerumah dan dilanjutkan dengan acara suap-suapan antara kedua pengantin. Bibi pengantin kemudian memberi sekepal nasi kepada masing-masing pengantin dan si suami menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Sebelum makan biasanya makanan ayam dan telur sebutir untuk kedua pengantin tersebut diramal dulu maknanya oleh guru (dukun/paranormal) dan biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua suami istri yang baru tersebut.

Bahwa didalam semua upacara adat Karo dalam proses melamar, membayar utang adat kepada Kalimbubu semua sarana-sarana kelengkapan adat seperti misalnya belo bujur diletakkan diatas uis arinteneng yang diletakan diatas piring dan amak cur. Belo bujur ini bermakna supaya diberkati Tuhan dan uis arinteneng tersebut bermakna supaya roh-roh menjadi tenang.

Melihat proses-proses perkawinan tersebut penuh dengan simbol-simbol yang bermakna kepercayaan maka benarlah hasil penelitian A. Van Gennep seorang Sosiolog bangsa Perancis yang mengatakan perkawinan pada masyarakat Karo adalah bersifat religius. Dan seperti apa yang dikutip oleh Darwan Prinst S.H, dalam bukunya adat Karo sifatnya religius dari perkawinan adat Karo dimaksud terlihat dengan adanya perkawinan maka perkawinan tersebut tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang hadir saja, tapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua-kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa upacara-upacara perkawinan masyarakat Karo bersifat religius atau merupakan sebuah rangkaian upacara-upacara agama yang penuh dengan simbol-simbol berbagai makna yang bersifat kepercayaan, dan pada saat itu nenek moyang masyarakat Karo beragama Pemena (penyembah berhala). Adat Karo sudah ada sejak dahulu kala atau setidak-tidaknya jauh sebelum Injil memasuki wilayah Karo.

No comments:

Post a Comment