Wednesday, January 18, 2012

Gundaling, "puncaknya Orang Medan"



SIBAYAK dan Sinabung bukanlah gunung utama di pulau Sumatera. Dibanding Kerinci atau Leuser popularitasnya masih berada beberapa tingkat di bawahnya. Namun, gunung-gunung kecil yang terletak di 


Kabupaten Karo, Sumatera Utara itu bukan sama sekali tak punya sisi kemenarikan. Sibayak dan Sinabung bahkan telah menjadi semacam ikon pariwisata Tanah Karo Simalem.
Memandang Sibayak dari kejauhan, kita seperti tengah memandang lanskap Jepang atau negeri-negeri Eropa. Puncaknya yang bersemburat warna keputih-putihan itu, sepintas seperti tumpukan salju. Padahal itu cuma leleran material vulkanik yang keluar dari lubang kepundan. Tak hanya itu, lanskap masih dimanjakan oleh deretan pohon pinus serta hawa sejuk pegunungan.
Pada perjalanan dari kota Berastagi menuju Gundaling Hill, salah satu objek wisata di Dataran Tinggi Karo, beberapa waktu lalu, kami menyempatkan diri berhenti di sebuah punggungan bukit. Dari sana, Sibayak yang berketinggian 2.094 meter di atas permukaan laut (dpl) itu terlihat anggun. Meski tak terlampau agung, tapi cukup membuat kagum.
Andai ada kepulan asap dari kepundannya, tentu keindahan Sibayak jadi makin sempurna. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami segera mengarahkan lensa kamera ke arahnya, dengan latar depan reranting dan dedaunan cemara.
Sibayak dalam bahasa Karo berarti ‘’raja'’. Konon pada masa lalu, Tanah Karo diperintah oleh lima orang Raja, yakni Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe dan Kutabuluh. Nah, Gunung Sibayak merupakan representasi dari kekuasaan mereka.




Kalau saja, saat itu punya cukup waktu, kami ingin sekali mendakinya. Dari cerita yang kami dengar, alam Sibayak amat kaya dan memesona. Sungai-sungainya berair jernih, ekosistemnya masih cukup terjaga, sementara puncaknya senantiasa hangat oleh gelegak magma. Masih ada lagi kemenarikan yang lain, yakni keindahan panorama yang terhampar di sepanjang jalur pendakian, dari kaki gunung hingga Takal Kuda (puncak tertinggi Gunung Sibayak). Karena amat terburu-buru, dengan terpaksa kami cuma bisa membayangkan saja: berada di Takal Kuda, menikmati kerlip bintang di hari malam, mengagumi matahari terbit di kaki langit, atau memandang Bukit Barisan yang membentang panjang dari utara ke selatan.
Perjalanan kami lanjutkan, melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dan naik-turun bagaikan ular. Tak terlampau lebar memang, tapi relatif bagus dan mulus. Yang menarik, jalan dari Berastagi menuju Gundaling Hill itu dibuat satu arah, hingga kami tak perlu mengkhawatirkan datangnya kendaraan dari arah berlawanan. Selain Gunung Sibayak, banyak panorama menarik yang terlihat di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu. Di sebelah barat ada Gunung Sinabung, sedangkan di arah timur tegak berdiri Gunung Baros menaungi kota Berastagi.

Tenang
Sesuai namanya, Gundaling Hill adalah bukit berketinggian 1.575 meter dpl. Suasananya tenang, karena jauh dari keramaian. Warga Kota Medan dan sekitarnya kerap menggunakan kawasan ini untuk tetirah di akhir pekan atau saat musim liburan. Di situ, pengunjung dapat berjalan-jalan mengelilingi taman yang dirindangi aneka pepohonan: pinus merkusii, Toona surei, durian, dadap, rambutan, pulai, hingga aren dan Rotan. Kalau beruntung, kita dapat melihat beberapa jenis hewan seperti monyet, rusa, elang, atau babi hutan. Kalau malas berjalan kaki untuk berkeliling lokasi, tersedia angkutan berupa kuda. Tarifnya lumayan mahal. Rp 100.000 tiap jam. Tapi untuk tujuan yang berjarak pasti, bisa dinegosiasi.


Lantaran bukan hari libur, suasana Gundaling Hill hari itu relatif sepi. Warung-warung makan dan hanyabeberapa kios suvenir yang buka. Tidak mengapa, justru dalam suasana seperti itu kami dapat menikmati keindahan alam secara leluasa. Dari sebuah tempat di situ, kami bisa memandang kembali Gunung Sibayak, Gunung Sinabung dan beberapa gunung kecil lain yang seperti bermunculan di dataran mahaluas. Elok dan menggetarkan.
Perempuan petani Berastagi

1 comment: